Topografi Sumbawa. Kaldera Tambora dapat dilihat pada semenanjung bagian utara..
Gunung Tambora (atau
Tomboro) adalah sebuah
stratovolcano aktif yang terletak di
pulau Sumbawa,
Indonesia. Gunung ini terletak di dua
kabupaten, yaitu
Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan
Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi
Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan
kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh
zona subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300
m[2] yang membuat gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di
Nusantara dan mengeringkan
dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali
dapur magma tersebut.
Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan
April tahun
1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada
Volcanic Explosivity Index.
[3] Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan
danau Taupo pada tahun
181.
[4] Letusan gunung ini terdengar hingga pulau
Sumatra (lebih dari 2.000
km).
Abu vulkanik jatuh di
Kalimantan,
Sulawesi,
Jawa dan
Maluku.
Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000
orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat
dari letusan tersebut.
[4]
Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh,
tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang
terlalu tinggi.
[5] Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (
1816) sering disebut sebagai
Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca
Amerika Utara dan
Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak
panen yang gagal dan kematian
ternak di
Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya
kelaparan terburuk pada abad ke-19.
[4]
Selama penggalian arkeologi tahun
2004, tim arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur oleh letusan tahun
1815 di kedalaman 3 meter pada endapan piroklastik.
[6] Artifak-artifak tersebut ditemukan pada posisi yang sama ketika terjadi letusan pada tahun
1815. Karena ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai
Pompeii dari timur.
Geografi
Pemandangan gunung Tambora dan sekelilingnya dari udara.
Kawah di puncak gunung Tambora.
Gunung Tambora terletak di pulau
Sumbawa yang merupakan bagian dari
kepulauan Nusa Tenggara. Gunung ini adalah bagian dari
busur Sunda, tali dari
kepulauan vulkanik yang membentuk rantai selatan kepulauan Indonesia.
[7] Tambora membentuk
semenanjungnya sendiri di pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi utara semenanjung tersebut, terdapat
laut Flores, dan di sebelah selatan terdapat teluk Saleh dengan panjang 86
km dan lebar 36
km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.
Selain
seismologis dan
vulkanologis yang mengamati aktivitas gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah arkeolog dan
biologi. Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas margasatwa.
[8][9]
Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya paling dekat dengan gunung
ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa. Di sebelah timur
terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti
dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora.
Rute pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara
gunung Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan
kacang mede sampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150
m di atas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera dengan ketinggian 1.950
m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian.
[10]
Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk mengamati aktivitas
vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera.
Rute kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut gunung
Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat dicapai
dengan berjalan kaki.
[10]
Sejarah geologis
Pembentukan
Tambora terbentang 340
km di sebelah utara sistem
palung Jawa dan 180-190
km di atas
zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan
kerak oseanik.
[11] Gunung ini memiliki laju konvergensi sebesar 7.8
cm per tahun.
[12] Tambora diperkirakan telah berada di bumi sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar).
[3] Ketika gunung ini meninggi akibat proses geologi di bawahnya,
dapur magma
yang besar ikut terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau
Mojo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi ini di mana
teluk Saleh pada awalnya merupakan
cekungan samudera (sekitar 25.000 BP).
[3]
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk sebelum letusan tahun
1815 dengan karakteristik yang sama dengan bentuk
stratovolcano.
[13] Diameter lubang tersebut mencapai 60
km.
[7] Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir turun secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Sejak letusan tahun
1815, pada bagian paling bawah terdapat endapan
lava dan material
piroklastik. Kira-kira 40% dari lapisan diwakili oleh 1-4
m aliran lava tipis.
[13] Scoria tipis diproduksi oleh fragmentasi aliran lava. Pada bagian atas, lava ditutup oleh scoria,
tuff dan bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah.
[13] Pada gunung Tambora, terdapat 20 kawah.
[12] Beberapa kawah memiliki nama, misalnya
Tahe (877 m),
Molo (602 m),
Kadiendinae,
Kubah (1648 m) dan
Doro Api Toi. Kawah tersebut juga memproduksi aliran lava basal.
Sejarah letusan
Dengan menggunakan teknik
penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun
1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.
[14] Perkiraan tanggal letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan
740
± 150 tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan
yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama,
tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan ketiga,
tidak terdapat
aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan
April tahun
1815.
[14] Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh
Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan
tefrit sebesar 1.6 × 10
11 meter kubik.
[14] Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan,
tsunami dan runtuhnya
kaldera.
Letusan ketiga ini memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama.
Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal
15 Juli 1815.
[14] Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan
Agustus tahun
1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai
gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun
1815.
[4] Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun
1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera.
[14] Letusan ini membuat aliran lava kecil dan
ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama
Doro Api Toi di dalam kaldera.
[15]
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran
lava masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20.
[1] Letusan terakhir terjadi pada tahun
1967,
[14] yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan.
Letusan tahun 1815
Kronologi letusan
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah
merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau
Kalimantan dan
Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama
gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam
dapur magma yang tertutup.
[7] Di dalam
dapur magma
dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma
bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi
magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5
kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.
[7]
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam.
[2] Pada tanggal
5 April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara
guruh yang terdengar di
Makassar,
Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini
Jakarta) di pulau
Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan
Ternate di
Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau
Sumatera pada tanggal
10-
11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.
[16] Pada pagi hari tanggal
6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di
Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal
10 April 1815.
Pada pukul 7:00 malam tanggal
10 April, letusan gunung ini semakin kuat.
[2] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.
[16] Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api.
[16]
Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00
malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran
piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi
semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai
sore tanggal
11 April. Abu menyebar sampai
Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal
11 dan
17 April 1815.
[2]
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April,
mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan
jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama,
hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen
tentara bergerak dari Djocjocarta,
dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir,
perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah
kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.
Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala
Volcanic Explosivity Index.
[17] Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung
Krakatau tahun
1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik
trakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×10
14 kg.
[4] Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6–7 km dan kedalaman 600–700 m.
[2] Massa jenis abu yang jatuh di
Makassar sebesar 636 kg/m².
[18] Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m,
[2] salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.
[19]
Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah.
[2][4] Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km.
[2]
Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari
dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari puncak.
Akibat
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang bercampur
dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak
lintas melebihi 5 km.
[2] Rakit batu apung lainnya ditemukan di
Samudra Hindia, di dekat
Kolkata pada tanggal
1 dan
3 Oktober 1815.
[4] Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal
23 April. Ledakan berhenti pada tanggal
15 Juli, walaupun emisi asap masih terlihat pada tanggal
23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan
Agustus tahun
1819, empat tahun setelah letusan.
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati
seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran
terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap
penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya
telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah
roboh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Semenjak letusan, diare
menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah
penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu,
dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang
sama.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal
10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.
[2] Tsunami setinggi 1–2 m dilaporkan terjadi di Besuki,
Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di
Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai
stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km.
[4] Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di
atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10–30 km.
[2]
Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat
terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat
di
London,
Inggris antara tanggal
28 Juni dan
2 Juli 1815 dan
3 September dan
7 Oktober 1815.
[2] Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada.
Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran
piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena
kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau
Lombok.
[20] Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok.
[21]
Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers
(1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.
[2] Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak.
[5]
Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari
Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan
dan catatan
Raffles.
[16] Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di
Bali dan
Jawa Timur
karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena
pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan
kelaparan setelah letusan.
[5] Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel dibawah.
[4]
Pengaruh global
Letusan gunung Tambora tahun 1815 mengeluarkan
sulfur ke
stratosfer,
menyebabkan penyimpangan iklim global. Metode berbeda telah
memperkirakan banyaknya sulfur yang dikeluarkan selama letusan: metode
petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan pengamatan
anatomi, dan metode konsentrasi sulfat inti es, menggunakan es dari
Tanah Hijau dan
Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode, antara 10 Tg S hingga 120 Tg S.
[4]
Pada musim semi dan musim panas tahun
1816, sebuah
kabut kering terlihat di timur laut
Amerika Serikat.
Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya matahari, seperti
bintik pada matahari yang terlihat dengan mata telanjang. Baik angin
atau hujan tidak dapat menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut
diidentifikasikan sebagai
kabut aerosol sulfat stratosfer.
[4] Pada musim panas tahun
1816, negara di
Belahan Utara menderita karena kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai
Tahun tanpa musim panas. Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 °C,
[2] cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di dunia. Pada tanggal
4 Juni 1816, cuaca penuh es dilaporkan di
Connecticut, dan dan pada hari berikutnya, hampir seluruh
New England digenggam oleh dingin. Pada tanggal
6 Juni 1816, salju turun di
Albany, New York, dan
Dennysville, Maine.
[4] Kondisi serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan menyebabkan gagal panen di Amerika Utara.
Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm terhimpun didekat
Kota Quebec dari tanggal
6 sampai
10 Juni 1816.
1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung
Huaynaputina di
Peru tahun
1600.
[17] Tahun
1810-an
adalah dekade terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan Tambora
tahun 1815 dan lainnya menduga letusan terjadi antara tahun
1809 dan tahun
1810. Perubahan temperatur permukaan selama musim panas tahun
1816,
1817 dan tahun
1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C,
[17] dan juga musim panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami badai salju yang lebih deras.
Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab
wabah tifus di Eropa Tenggara dan
Laut Tengah bagian timur di antara tahun
1816 dan tahun
1819.
[4] Banyak ternak meninggal di
New England selama musim dingin tahun
1816-
1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar menyebabkan gagal panen di
Kepulauan Britania. Keluarga-keluarga di
Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di
Irlandia utara dan barat daya karena
gandum,
haver dan
kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi di
Jerman,
harga makanan naik dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak
diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko
roti yang diikuti dengan kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang
terjadi di banyak kota-kota di
Eropa. Ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19.
[4]
Bukti arkeologi
Pada musim panas tahun
2004, tim dari
Universitas Rhode Island,
Universitas North Carolina di Wilmington, dan direktorat vulkanologi Indonesia, dipimpin oleh
Haraldur Sigurdsson, memulai sebuah penggalian arkeologi di gunung Tambora.
[6] Setelah enam minggu, tim tersebut menggali bukti adanya
kebudayaan yang hilang yang musnah karena letusan gunung Tambora. Situs tersebut terletak 25
km sebelah barat kaldera, di dalam hutam, 5
km dari pantai. Tim tersebut harus melewati endapan batu apung vulkanik dan abu dengan tebal 3
m.
Tim tersebut menggunakan
radar penembus tanah
untuk mencari lokasi rumah kecil yang terkubur. Mereka menggali kembali
rumah dan mereka menemukan sisa dua orang dewasa, dan juga mangkuk
perunggu, peralatan besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi
artifak memiliki kesamaan dengan artifak dari
Vietnam dan
Kamboja.
[6] Uji coba dilakukan menggunakan teknik karbonisasi memperjelas bahwa mereka terbentuk dari
pensil arang yang dibentuk oleh panas
magma. Semua orang, rumah dan kebudayaan dibiarkan seperti saat mereka berada tahun
1815. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai
Pompeii dari timur.
[24][25]
Berdasarkan artifak yang ditemukan, yang mayoritas benda perunggu, tim
menyatakan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah
menunjukan bahwa orang di pulau Sumbawa terkenal di
Hindia Timur untuk
madu,
kuda,
kayu sepang (
caesalpinia sappan), memproduksi
dye merah, dan
cendana yang digunakan untuk
dupa dan pengobatan.
[6] Daerah ini diketahui produktif dalam bidang pertanian.
Penemua arkeologi memperjelas bahwa terdapat kebudayaan yang hancur karena letusan tahun 1815. Sebutan
Kerajaan Tambora yang hilang disebut oleh media.
[26][27] Dengan penemuan ini, Sigurdsson bermaksud untuk kembali ke Tambora tahun
2007 untuk mencari sisa desa, dan berharap dapat menemukan istana.
[6]
Ekosistem
Tim penelitian yang dipimpin oleh
ahli botani Swiss, Heinrich Zollinger, tiba di pulau Sumbawa tahun 1847.
[28]
Misi Zollinger adalah untuk mempelajari letusan dan pengaruhnya
terhadap ekosistem lokal. Ia adalah orang pertama yang memanjat ke
puncak gunung Tambora setelah letusan gunung tersebut. Gunung tersebut
masih tertutup oleh asap. Ketika Zollinger memanjat, kakinya tenggelam
beberapa kali melalui kerak permukaan tipis menuju lapisan hangat yang
seperti
sulfur. Beberapa tumbuh-tumbuhan kembali tumbuh dan beberapa pohon diamati di lereng yang lebih rendah. Hutan
Casuarina dicatat pada 2.200-2.550 m.
[29] Beberapa
Imperata cylindrica juga dapat ditemukan.
Penduduk mulai tinggal di gunung Tambora pada tahun
1907. Penanaman
kopi dimulai pada tahun
1930-an di lereng bagian barat laut gunung Tambora, di desa Pekat.
[30] Hutan hujan yang disebut
Duabangga moluccana telah tumbuh dengan ketinggian 1.000-2.800
m.
[30] Penanaman tersebut mencakupi daerah seluas 80.000 hektare (800 km²). Hutan hujan ditemukan oleh tim
Belanda, dipimpin oleh Koster dan De Voogd tahun 1933.
[30]
Mereka memulai perjalanan di "daerah hampir tandus, kering dan panas"
dan mereka memasuki "hutam hebat" dengan "raksasa hutan yang besar dan
megah". Pada ketinggian 1.100 m, mereka memasuki hutan
montane. Pada ketinggian 1.800 m , mereka menemukan
Dodonaea viscosa yang didominasi oleh pohon
Casuarina. Di puncak, mereka menemukan sedikit
Anaphalis viscida dan
Wahlenbergia.
56 spesies burung ditemukan tahun 1896, termasuk
Crested White-eye.
[31] 12 spesies lainnya ditemukan pada tahun
1981.
Beberapa penelitian ahli ilmu hewan menemukan spesies burung lainnya di
gunung, menghasilkan ditemukannya lebih dari 90 spesies burung.
Kakatua-kecil Jambul-kuning,
Murai Asia,
Tiong Emas,
Ayam hutan Hijau dan
Perkici Pelangi diburu untuk dijual dan dipelihara oleh penduduk setempat.
Gosong berkaki-jingga diburu untuk dimakan. Eksploitasi burung menyebabkan berkurangnya populasi burung.
Yellow-crested Cockatoo hampir punah di pulau Sumbawa.
[31]
Sejak tahun
1972, perusahaan penebangan komersial telah
beroperasi di daerah ini, yang menyebabkan ancaman terhadap hutan hujan.
Perusahaan penebangan memegang izin untuk menebang kayu di daerah
seluas 20.000 hektare (200 km²), atau 25% dari jumlah luas daerah.
[30] Bagian hutan hujan lainnya digunakan untuk berburu. Di antara tanah berburu dan tanah penebangan, terdapat
cagar alam, temat
rusa,
kerbau,
babi hutan,
kelelawar,
rubah terbang, dan berbagai spesies
reptil dan
burung dapat ditemukan.
[30]
Pengamatan
Populasi
Indonesia meningkat dengan cepat sejak letusan tahun
1815. Pada tahun
2006, populasi Indonesia telah mencapai 222 juta jiwa,
[32] dan 130 juta penduduk berada di pulau
Jawa dan
Bali.
[33]
Sebuah letusan gunung berapi sebesar letusan Tambora tahun 1815 akan
menyebabkan kematian yang lebih besar, sehingga aktivitas vulkanik di
Indonesia terus diamati, termasuk gunung Tambora.
Aktivitas seismologi di Indonesia diamati oleh Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Pos pengamatan untuk gunung Tambora
terletak di desa Doro Peti.
[34] Mereka memfokuskan aktivitas seismik dan tektonik dengan menggunakan
seismometer. Sejak letusan tahun 1880, tidak terdapat peningkatan aktivitas seismik.
[35] Pengamatan terus dilakukan di dalam kaldera, terutama di kawah Doro Api Toi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menegaskan peta
mitigasi bahaya gunung Tambora. Dua zona yang dinyatakan adalah zona
bahaya dan zona waspada.
[34] Zona bahaya adalah daerah yang secara langsung terpengaruh oleh letusan: aliran piroklastik, aliran lava dan jatuhnya
piroklastik
lainnya. Daerah ini, termasuk kaldera dan sekelilingnya, meliputi
daerah seluas 58,7 km². Orang dilarang tinggal di zona berbahaya. Zona
waspada termasuk daerah yang mungkin dapat secara langsung terpengaruh
oleh letusan: aliran
lahar
dan batuan apung lainnya. Luas dari daerah waspada sebesar 185 km²,
termasuk desa Pasanggrahan, Doro Peti, Rao, Labuan Kenanga, Gubu Ponda,
Kawindana Toi dan Hoddo. Sungai yang disebut sungai Guwu yang terletak
di bagian selatan dan barat laut gunung Tambora juga dimasukan kedalam
zona waspada.
[34]
Catatan kaki
- ^ a b c "Tambora". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diakses 17 Oktober.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n Stothers, Richard B. (1984). "The Great Tambora Eruption in 1815 and Its Aftermath". Science 224 (4654): 1191–1198.
- ^ a b c Degens, E.T.; Buch, B (1989). "Sedimentological events in Saleh Bay, off Mount Tambora". Netherlands Journal of Sea Research 24 (4): 399–404.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o Oppenheimer, Clive (2003). "Climatic, environmental and human consequences of the largest known historic eruption: Tambora volcano (Indonesia) 1815". Progress in Physical Geography 27 (2): 230–259.
- ^ a b c Tanguy, J.-C.; Scarth, A., Ribière, C., Tjetjep, W. S. (1998). "Victims from volcanic eruptions: a revised database". Bulletin of Volcanology 60 (2): 137–144.
- ^ a b c d e University of Rhode Island (2006-02-27). URI volcanologist discovers lost kingdom of Tambora. Siaran pers. Diakses pada 6 Oktober.
- ^ a b c d Foden, J. (1986). "The petrology of Tambora volcano, Indonesia: A model for the 1815 eruption". Journal of Volcanology and Geothermal Research 27 (1–2): 1–41.
- ^ "Hobi Mendaki Gunung - Menyambangi Kawah Raksasa Gunung Tambora" (dalam bahasa Indonesia). Sinar Harapan. 2003. Diakses 14 November.
- ^ Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Timur. Potential Tourism as Factor of Economic Development in the Districts of Bima and Dompu. Siaran pers. Diakses pada 14 November.
- ^ a b Aswanir Nasution. "Tambora, Nusa Tenggara Barat" (dalam bahasa dalam bahasa Indonesia). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Diakses 13 November.
- ^ Foden, J; Varne, R. (1980). "The petrology and tectonic setting of Quaternary—Recent volcanic centres of Lombok and Sumbawa, Sunda arc". Chemical Geology 30 (3): 201–206.
- ^ a b Sigurdsson, H.; Carey, S. (1983). "Plinian and co-ignimbrite tephra fall from the 1815 eruption of Tambora volcano". Bulletin of Volcanology 51 (4): 243–270.
- ^ a b c "Geology of Tambora Volcano". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Diakses 10 Oktober.
- ^ a b c d e f "Tambora Eruptive History". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diakses 13 November.
- ^ "Tambora Historic Eruptions and Recent Activities". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Diakses 13 November.
- ^ a b c d e f Raffles, S. 1830: Memoir
of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S.
&c., particularly in the government of Java 1811–1816, and of
Bencoolen and its dependencies 1817–1824: with details of the commerce
and resources of the eastern archipelago, and selections from his
correspondence. London: John Murray, cited by Oppenheimer (2003).
- ^ a b c Briffa, K.R.; Jones, P.D., Schweingruber, F.H. and Osborn T.J. "Influence of volcanic eruptions on Northern Hemisphere summer temperature over 600 years". Nature 393: 450–455.
- ^ Stothers, Richard B. (2004). "Density of fallen ash after the eruption of Tambora in 1815". Journal of Volcanology and Geothermal Research 134: 343–345.
- ^ Monk, K.A.; Fretes, Y., Reksodiharjo-Lilley, G. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. hal. 60. ISBN 962-593-076-0.
- ^ Zollinger (1855): Besteigung des Vulkans Tamboro auf der Insel Sumbawa und Schiderung der Eruption desselben im Jahren 1815, Wintherthur: Zurcher and Fürber, Wurster and Co., cited by Oppenheimer (2003).
- ^ Petroeschevsky (1949): A contribution to the knowledge of the Gunung Tambora (Sumbawa). Tijdschrift van het K. Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Amsterdam Series 2 66, 688–703, cited by Oppenheimer (2003).
- ^ "Large Holocene Eruptions". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diakses 7 November.
- ^ Dai,
J.; Mosley-Thompson and L.G. Thompson (1991). "Ice core evidence for an
explosive tropical volcanic eruption six years preceding Tambora". Journal of Geophysical Research (Atmospheres) 96: 17,361–17,366.
- ^ "'Pompeii of the East' discovered". BBC News. 28 Februari 2006. Diakses 9 Oktober.
- ^ "Indonesian Volcano Site Reveals ‘Pompeii of the East’ (Update1)". Bloomberg Asia. 28 Februari 2006. Diakses 9 Oktober.
- ^ "‘Lost Kingdom’ Discovered on Volcanic Island in Indonesia". National Geographic. 27 Februari 2006. Diakses 9 Oktober.
- ^ "'Lost kingdom' springs from the ashes". International Herald Tribune. 1 Maret 2006. Diarsipkan dari aslinya tanggal 12 March 2006. Diakses 9 Oktober.
- ^ "Heinrich Zollinger". Zollinger Family History Research. Diakses 14 November.
- ^ Zollinger (1855) cited by Trainor (2002).
- ^ a b c d e de Jong Boers, B. (1995). "Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and its Aftermath". Indonesia 60: 37–59.
- ^ a b Trainor, C.R. (2002). "Birds of Gunung Tambora, Sumbawa, Indonesia: effects of altitude, the 1815 catalysmic volcanic eruption and trade". Forktail 18: 49–61.
- ^ Badan Pusat Statistik (1 September 2006). Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005–2006. Siaran pers. Diakses pada 26 September.
- ^ Calder, Joshua (3 Mei 2006). "Most Populous Islands". World Island Information. Diakses 26 September.
- ^ a b c "Tambora Hazard Mitigation". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Diakses 13 November.
- ^ "Tambora Geophysics" (dalam bahasa dalam bahasa Indonesia). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Diakses 13 November.
Daftar pustaka
- C.R. Harrington (ed.). The Year without a summer? : world climate in 1816, Ottawa : Canadian Museum of Nature, 1992. ISBN 0-660-13063-7
- Henry and Elizabeth Stommel. Volcano Weather: The Story of 1816, the Year without a Summer, Newport RI. 1983. ISBN 0-915160-71-4
Sumber :http://id.wikipedia.org